Fenomena hoaks bukan lagi menjadi fenomena baru di lingkup global, tidak terkecuali di Indonesia. Sejak manusia mulai memahami bahwa media memiliki kekuatan untuk memengaruhi opini publik, pembuatan hoaks telah menjadi salah satu alat yang efektif untuk meraih perhatian publik.
Secara umum, hoaks sebagai dusta atau kebohongan yang berakar pada watak patologis perilaku manusia merupakan fenomena lama dalam sejarah peradaban umat manusia dan mendapat momentum penyebarannya akibat revolusi teknologi komunikasi selama ini. Karena itu, hoax sebagai kebohongan, dusta, penipuan, palsu, dan penyesatan melalui pesan dan cara berkomunikasi manusia bukan fenomena baru, tetapi fenomena sangat tua dalam sejarah peradaban manusia.
Jadi, fenomena kebohongan merata terjadi di berbagai belahan dunia dan sejarah peradaban manusia. Dalam komunikasi, fenomena ini memiliki beragam wajah seperti disinformation, fake news, propaganda, agitasi, provokasi, dan lain-lain yang antara lain dipicu oleh kepentingan tertentu.
Revolusi teknologi komunikasi dan informasi akhir-akhir ini tidak mengubah watak perilaku patologis berbohong dari manusia; sebaliknya, teknologi melipatgandakan watak perilaku patologis berbohong manusia.
Tahun 1967, Herbert Marshall McLuhan menulis buku The Medium is the Message. Isinya bahwa Media is the Extension of Man. Artinya, semua teknologi ciptaan manusia merupakan cerminan dari upaya manusia melebarkan eksistensinya sebagai manusia. Begitu pula, keberadaan teknologi informasi dalam penyesatan informasi, bohong, palsu, ujaran kebencian, penipuan dan lainnya, tidak mengubah watak dasar manusia itu, melainkan hanya melebarkan arena kebohongan itu, dalam cara, eskalasi, relasi, dan sistem produksi serta penerimaannya.
Namun yang pasti, Teknologi adalah teknologi. Apa pengaruh teknologi itu, tergantung apa yang ditawarkannya; apakah berguna atau tidak, tergantung bagaimana teknologi itu dimanfaatkan.
Media Social dan Maraknya hoak
Perkembangan era digital dewasa ini ditandai dengan semakin masifnya penetrasi media sosial dalam berbagai aspek kehidupan ekonomi, politik, budaya dan pertahanan keamanan, fenomena ini merupakan konsekuensi perubahan pola komunikasi, dari cara-cara dan media konvensional menuju digitalisasi komunikasi dengan menggunakan berbagai kanal media sosial kekinian.
Era digital yang ditandai dengan perkembangan Teknologi Informasi Komunikasi terus berlangsung dan berkembang begitu cepat dan semakin canggih. Inovasi teknologi dengan pemanfaatan media sosial menjadikan arus informasi mengalir dengan deras dan cepat, pola-pola komunikasi linier mulai digantikan dengan pola-pola komunikasi simetris, real time melintas batas ruang dan waktu, dengan mengedepankan kecepatan, sekaligus menandakan pola komunikasi dewasa ini sesungguhnya telah memasuki fase interactive communication era. Sebagaimana katagorisasi Everett M Rogers, fase lebih lanjut dari pengembangan era telekomunikasi dengan menjadikan penggunaan internet sebagai media baru (new media).
Penggunaan internet sebagai media baru (new media), membawa konsekuensi pergeseran karakter khalayak menjadia udience, khalayak tidak lagi obyek pasif, namun dapat berperan menjadi produsen informasi (Prosumer), masyarakat sebagai khalayak tidak lagi pada posisi obyek yang dideterminasi media massa arus utama, tetapi lebih jauh dapat berperan memproduksi berita dan membentuk opini publik via platform media sosial.
Kuatnya arus informasi dan komunikasi di era globalisasi semakin memudahkan masyarakat untuk memperoleh informasi melalui berbagai sarana, terutama internet. Tidak hanya sekadar menerima informasi, masyarakat juga memiliki kesempatan untuk menciptakan, mengolah, dan menyalurkan narasi melalui berbagai media digital, tidak terkecuali media sosial.
Semua orang bisa memiliki medsos dan bebas memproduksi konten apa saja tanpa adanya filter (editing) dari siapapun dan pihak manapun. Pengguna dengan bebas bisa mengedit, menambahkan, memodifikasi baik tulisan, gambar, video, grafis, dan berbagai model konten lainnya. Dan melalui media sosial pengguna berinteraksi, berbagi dan berkomunikasi yang membentuk ikatan sosial secara virtual dalam masyarakat jejaring (networking society). Fenomena ini menempatkan media sosial sebagai garda terdepan dalam komunikasi model baru sekaligus berperan membentuk opini publik.
Penggunaan media sosial sebagai garda terdepan dalam komunikasi model baru, tidak lagi hanya sekedar berperan sebagai kanal menyampaikan pesan dan menyerap informasi, tetapi lebih jauh berperan dalam mempengaruhi persepsi dan perilaku publik, mempengaruhi pengambilan keputusan institusi, kelompok masyarakat dan turut andil dalam pengembangan kesadaran kolektif opini publik.
Penggunaan medsos saat ini makin bervariatif, tidak hanya digunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi atau bersosialisasi, namun juga digunakan sarana pendidikan, sarana promosi (baik promosi yang sifatnya komersial maupun yang social), dan lainnya.
Namun, seringkali medsos disalahgunakan untuk kepentingan yang tidak pantas seperti pornografi atau bahkan kriminal (modus penipuan atau criminal lainnya). Selain itu, penyalahgunaan yang marak saat ini adalah penyampaian berita atau informasi bohong (Hoax) dan ujaran kebencian (hate speech).
Aylin Manduric dalam tulisannya “Sosial Media as a tool for information warfare” menyatakan bahwa media sosial sebagai senjata pemusnah massal dan pemicu timbulnya konflik, berperan sebagai senjata kata-kata yang mempengaruhi hati dan pikiran audiens yang ditargetkan. Melalui media sosial, berbagai informasi membanjiri ruang publik media social.
Arus informasi yang deras tanpa batas tersebut, ibarat sekeping mata uang logam yang memiliki dua sisi yang berbeda, media sosial satu sisi dapat bersifat positip apabila dimanfaatkan secara benar, untuk mengedukasi masyarakat dan mengoptimalkan manfaat praktis media social.
Namun disisi lain pemanfaatan media sosial juga dapat kontra produktif, apabila ruang publik disesaki oleh informasi yang yang berseliweran melalui media sosial dengan hoax, informasi palsu (fake news) dan informasi keliru (falsenews) yang memiliki daya rusak yang dashyat karena penyebarannya yang sangat cepat tanpa batas dan mampu membangkitkan emosi yang sangat kuat.
Maraknya hoax dan merebaknya fenomena post truth dengan upaya memainkan opini publik dengan mengesampingkan dan bahkan mendegradasi fakta dan data informasi yang objektif berpotensi mempertajam polarisasi di masyarakat, ditandai dengan semakin viralnya berita dan informasi hoaks yang tendensius mengusung sentimen agama, ras, politik dan kelompok.
Hoaks (Inggris: hoax), atau berita palsu, merupakan konten yang memuat informasi palsu dan disajikan sebagai berita nyata. Pada umumnya, berita palsu disebarkan secara masif dengan menggunakan bot, yaitu sebuah perangkat lunak yang berfungsi untuk menduplikasi berita (ataupun tulisan lainnya) secara otomatis dan berulang-ulang.
Hoaks atau hoax (Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah berita bohong atau berita tidak bersumber. Dengan kata lain hoax adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya.
Menurut Werme (2016), hoax adalah berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu. Hoaks bukan sekedar misleading alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta. Sedangkan Menurut Silverman (2015), hoax adalah sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun ‘dijual sebagai kebenaran.
Post-truth dapat diartikan bahwa masyarakat lebih mencari pembenaran dari pada kebenaran. Post-truth menunjukkan suatu keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik bila dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.
Secara sederhana, post truth dapat diartikan bahwa masyarakat lebih mencari pembenaran dari pada kebenaran. Berita/informasi yang disampaikan, meskipun menjanjikan sesuatu yang indah dan menyenangkan, belum dapat dikatakan suatu kebenaran. Sebaliknya, bukan pula sesuatu yang nyata akan terjadi, apabila diungkapkan berupa ancaman atau sesuatu yang dapat menimbulkan keresahan dan ketakutan serta menciptakan kondisi yang tidak produktif.
Era post-truth dapat disebut sebagai pergeseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini. Fakta-fakta bersaing dengan hoax dan kebohongan untuk dipercaya publik. Media mainstream yang dulu dianggap salah satu sumber kebenaran harus menerima kenyataan semakin tipisnya pembatas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan nonfiksi.
Salah satu faktor yang menjadi katalisator maraknya hoaks dan berkembangnya post truth adalah kehadiran teknologi informasi yang berimplikasi pemanfaatan media sosial yang tidak tepat, teknologi digital telah mampu menciptakan realitas sendiri, sesuai dengan agenda setting kelompok kepentingan atau menurut ilmu simiotika, keadaaan ini berdampak pada terpisahnya antara penanda(signifier) dengan petanda(signified).
Peran media sosial melalui algoritma secara tidak langsung juga memiliki kontribusi yang signifikan dalam membentuk masyarakat post-truth. Algoritma media sosial berperan dalam menciptakan kondisi yang disebut echo-chamber. Echo-chamber (ruang gema) adalah kondisi di mana seseorang menerima informasi, ide, dan gagasan yang homogen secara terus-menerus, sedangkan pandangan lain tidak masuk dalam ‘ruang’ tersebut. Algoritma seolah-olah menjadi “filter buble”.
Algoritma filter buble mengkondisikan pengguna mendapat informasi sesuai dengan riwayat penggunaannya, secara perlahan tapi pasti informasi yang dipasok disesuaikan dengan dengan preferensi yang dikehendaki, sedangkan yang tidak sesuai akan tersortir secara otomatis. Eksternalitas dari algoritma tersebut tak dibayangkan adalah masyarakat akan hanya mendapat informasi yang bersifat banal dan parsial. Dampaknya adalah penguatan identitas dan polarisari masyarakat yang semakin tajam dan berpotensi memantik konflik yang berkepanjangan.
Tak dipungkiri jika Hoaks marak dan tumbuh subur dengan adanya internet sebagai media online. Hanya dalam hitungan detik, suatu informasi atau peristiwa yang belum terverifikasi benar dan tidaknya bisa langsung tersebar dan diakses oleh pengguna internet melalui media sosial.
Perkembangan hoaks
Hoax dibuat seseorang/kelompok dengan beragam tujuan. Hoax biasanya muncul ketika sebuah isu mencuat ke permukaan, namun banyak hal yang belum terungkap atau menjadi tanda tanya.
Secara umum, tujuan orang membuat hoaks adalah untuk menggiring, dan membentuk opini publik/persepsi, Untuk bersenang-senang yang menguji kecerdasan dan kecermatan pengguna internet dan media social, Lelucon/sekedar iseng, Menjatuhkan pesaing (black campaign), Promosi dengan penipuan, ajakan untuk berbuat amalan-amalan baik yang sebenarnya belum ada dalil yang jelas di dalamnya.
Jenis - Jenis Informasi Hoaks
1. Fake news (Berita bohong).
Berita yang berusaha menggantikan berita yang asli. Berita ini bertujuan untuk memalsukan atau memasukkan ketidakbenaran dalam suatu berita. Penulis berita bohong biasanya menambahkan hal-hal yang tidak benar dan teori persengkokolan, makin aneh, makin baik. Berita bohong bukanlah komentar humor terhadap suatu berita.
2. Clickbait (Tautan jebakan).
Tautan yang diletakkan secara stategis di dalam suatu situs dengan tujuan untuk menarik orang masuk ke situs lainnya. Konten di dalam tautan ini sesuai fakta namun judulnya dibuat berlebihan atau dipasang gambar yang menarik untuk memancing pembaca.
3. Confirmation bias (Bias konfirmasi).
Kecenderungan untuk menginterpretasikan kejadian yang baru terjadi sebaik bukti dari kepercayaan yang sudah ada.
4. Misinformation (Informasi yang salah atau tidak akurat).
Misinformasi adalah sebuah informasi yang salah, namun orang yang menyebarkannya percaya bahwa informasi itu benar. Sementara Disinformasi adalah informasi yang salah tetapi sengaja disebarkan dengan tujuan tertentu. Informasi yang salah dan tidak akurat dibuat terutama dengan tujuan untuk menipu.
5. Satire.
Satire adalah gaya bahasa yang membuat sindiran atau ledekan diiringi oleh kritik tajam dengan ungkapan yang bervariasi hingga menghasilkan kesan yang membuat pembaca atau pendengar tertawa dan pihak yang dikritik meringis (tertawa getir). Atau sebuah tulisan yang menggunakan humor, ironi, hal yang dibesar-besarkan untuk mengomentari kejadian yang sedang hangat. Berita satir dapat dijumpai di pertunjukan televisi.
6. Post-truth (Pasca-kebenaran).
Kejadian di mana emosi lebih berperan daripada fakta untuk membentuk opini publik.
Propaganda. Aktivitas menyebar luaskan informasi, fakta, argumen, gosip, setengah-kebenaran, atau bahkan kebohongan untuk mempengaruhi opini publik.
Tema-tema Hoaks
Berbicara tentang hoaks tidak bisa dilepaskan dari adanya ujaran kebencian (hate speech). Dua hal itu seperti dua sisi dari mata uang yg sama. Ada beberapa isu atau tema hoaks dan ujaran kebencian antara lain: SARA (suku, agama dan ras), politik, selebritis, ilmu pengetahuan, kesehatan dan bahkan agama.
Diantara isu-isu tersebut yang akhir-akhir ini sering diviralkan menjadi berita/informasi hoaks adalah tema politik dan SARA. Kedua tema hoax ini sangat berbahaya dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Mengapa demikian? Politik sebagaimana diketahui selalu berkaitan dengan kekuasaan dan kekuasaan bagi manusia selalu menjadi ambisi dan bahan untuk diperebutkan. Tidak jarang perebutan kekuasaan berakhir dengan konflik bahkan chaos.
Tema politik, selalu marak manakala menjelang pemilu. Padahal hampir setiap tahun di Indonesia selalu ada pemilu, sejak dari pilpres, pilgub, pilkada bahkan pilkades selalu muncul isu-isu hoaks.
Sedangkan SARA adalah sesuatu yang sensitive dan resisten apabila sampai dipertentangkan. Banyak contoh kasus di Indonesia pertentangan (konflik) yang bersumber pada SARA dan berakibat fatal. Contoh hoax dan ujaran kebencian tema SARA akhir-akhir ini adalah tentang isu-isu penistaan agama.
Tumbuh suburnya Hoax
Setidaknya ada tiga hal yang mempengaruhi tumbuh suburnya hoax dan hate speech, yaitu:
1. Kultur masyarakat
Pertama, Kultur masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa berkembangnya fenomena hoax dan hate speech satunya adalah andil dari masyarakat sendiri. Masyarakat kita begitu mudah mempercayai suatu kabar dari mulut ke mulut tanpa meng-kroscek dari sumbernya langsung, budaya gosip seolah menjadi sebuah pembenaran paling nyata dalam setiap pembicaraan. Tradisi masyarakat kita cenderung suka membicarakan hal-hal yang tidak perlu, keburukan dari orang lain atau bahkan hal-hal yang sifatnya personal. Kebiasaan ghibah, fitnah dan namimah seakan sudah menjadi kultur bagi masyarakat.
2. Perkembangan teknologi digital,
Yang dimaksud teknologi digital tersebut adalah media on-line dan medsos. Kedua media ini seakan menjadi ladang yang subur bagi bersemainya benih-benih hoaks dan hate speech di masyarakat. Bahkan, media saat ini telah menjadi First God bagi masyarakat di berbagai usia.
3. Rendahnya literasi digital
Rendahnya tingkat literasi digital masyarakat kita semakin mempermudah merebaknya budaya hoaks dan hate speech. Hasil riset DailySocial.id menyebutkan 44% masyarakat Indonesia tidak bisa mendeteksi Hoax. Akibatnya, masyarakat percaya begitu saja terhadap berita/informasi yang diterimanya.
Dampak Hoaks
Dampak hoax sangat besar terhadap kehidupan bangsa, negara dan masyarakat karena orang tidak lagi peduli dan peka terhadap kebenaran. Persoalan paling besar dari hoax dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat ialah banyak orang menjadi korban ketika masyarakat tidak lagi peka dan peduli pada kebenaran. Akibatnya, moralitas dan etika komunikasi tidak dipedulikan; prasangka dan saling tidak percaya tinggi; komunikasi tanpa tuntunan akal sehat tapi emosi dan subyektivitas; fragmentasi dan dikotomi in group dan out group; serta menguatnya ideologi kelompok.
Solusi Penanggulangan Hoax
Setidaknya ada tiga langkah atau cara yang bisa dilakukan untuk membendung tumbuh dan berkembangnya Hoaks di medsos.
1. Literasi Digital
Mencermati perkembangan sosial media dan marakanya hoaks serta fenomena post truth yang berkembang akhir-akhir ini, menjadikan media sosial sangat berperan mempercepat mengalirnya informasi, semakin berlimpah ruahnya informasi yang berseliweran di ruang publik, yang tidak selalu berdasarkan fakta, semakin tipis batas pembenaran dan kebenaran, untuk itu diperlukan kesiapan yang matang dari masyarakat dalam memanfaatkan media social.
Gerakan literasi dan bijak bermedia sosial di Indonesia perlu terus digelorakan karena hal ini menjadi semakin relavan bila kita cermati perkembangan pemanfaatan media sosial di Indonesia, ditengah fenomena masih rendahnya literasi di Indonesia.
Literasi digital adalah kemampuan menggunakan teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, menerima, menganalisis, mengevaluasi dan memanfaatkan informasi dengan efektif.
Literasi digital menjadi suatu keniscayaan dalam melawan fenomena post truth yang ditandai dengan maraknya hoax, false news maupun fake news. Literasi digital sendiri dapat diartikan sebagai kecakapan menggunakan media digital dengan beretika dan bertanggungjawab untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi.
Peran literasi digital sangat penting, karena dengan literasi digital mampu membuat kita untuk berpikir kritis, kreatif, dan inovatif dalam menghadapi masalah yang sedang terjadi. Literasi digital juga mampu membantu dalam memecahkan masalah, berkomunikasi menjadi lebih lancar, dan juga mampu berkolaborasi dengan lebih banyak orang.
Literasi digital menunjang pilar transformasi digital pada masyarakat, dimana infrastruktur dan regulasi menjadi payung untuk meningkatkan digital awareness, digital knowledge, hygienic behavior, dan digital skill,” Berikut ini adalah gambar kerangka digital literacy framework.
Melalui literasi digital akan terbangun kemampuan untuk mengenali, memahami, menerjemah, mencipta, dan berkomunikasi dengan medium cetak, audio-visual, dengan mengedapankan nilai-nilai integritas, empati dan spirit membangun sinergitas saling menghargai.
Literasi digital sangat berguna dalam memberikan pencerahan terkait dengan hak digital (digital rights), kecerdasan emosional digital (digital emotional intelligence) dan penggunaan penggunaan digital (digital use) yang “sehat”. Dan yang tak kalah pentingnya dengan literasi digital akan mendorong masyarakat untuk berpikir kritis (critical thinking), yaitu kemampuan untuk membedakan antara informasi nyata dan bohong, konten baik dan berbahaya, dan kontak online yang dapat dipercaya maupun yang diragukan.
Peran keluarga dalam hal ini adalah mengedukasi dan menjadi contoh dalam proses penyerapan informasi yang beredar luas di dunia maya. Demikian juga masyarakat harus belajar dan memberi edukasi yang penting dengan tidak serta merta menyebarkan berita yang tidak jelas kebenarannya dengan bijak.
Melalui literasi digital diharapkan akan terbangun budaya bijak bermedsos, meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang dilengkapi karakter yang kuat dengan kemampuan menetapkan skala prioritas, dan berpikir jauh kedepan yang akan sangat membantu dalam menghindari terkurasnya energi untuk menanggapi hal hal yang tidak prinsip, sekaligus merupakan amunisi utama yang dapat digunakan untuk menyikapi fenomena post truth agar tidak kontraproduktif terhadap cita-cita merajut kebinekaan Indonesia dan membangun sinergitas meningkatkan daya saing bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih.
2. Edukasi Bermediasosial
Edukasi tentang komunikasi melalui media sosial di masyarakat, lingkungan perguruan tinggi, pendidikan formal, informal, dan non-formal lainnya perlu terus digelorakan. Penyadaran pada masyarakat agar bijak dan cerdas dalam bermediasosial. Kegiatan ini tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali, namun membutuhkan waktu yang panjang dan berkesinambungan secara konsisten di berbagai kalangan masyarakat sehingga masyarakat menjadi sadar (aware) dan melek media, yaitu dapat memilah dan memilih berita atau informasi mana yang baik dan menyehatkan untuk dikonsumsi.
3. Penerapan Kebijakan dan peraturan secara konsisten
Penerapan kebijakan, peraturan atau UU tentang komunikasi di media social harus diterapkan secara konsisten agar tercipta masyarakat yang saling menghargai, toleran, gorong-royong, tenggang rasa, dan lain-lain. dan hal yang lebih penting adalah Pemerintah harus menjadi contoh atau teladan tidak melakukan hoax.
Referensi
Gouvernement.fr. (2018, June 7). Fake news: a bill to combat the manipulation of information. Retrieved from Gouvernement.fr: https://www.gouvernement.fr/en/fake-news-a-bill-to-combat-the-manipulation-of-information
Rajaratnam School of International Studies. (2018, March). Countering Fake News: A Survey of Recent Global Initiatives. Retrieved from S. Rajaratnam School of International Studies: https://www.rsis.edu.sg/wp-content/uploads/2018/03/PR180307_Countering-Fake-News.pdf
Arwendria, A. and Oktavia, A., 2019. Upaya Pemerintah Indonesia Mengendalikan Berita Palsu. Jurnal Dokumentasi Dan Informasi, 40(2), pp.195-206. CCSU. 2016.
https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:vdCr7LX3INAJ:https://kniu.kemdikbud.go.id/%3Fp%3D3731+&cd=10&hl=id&ct=clnk&gl=id. Diakses 29 Agustus 2021.
World's Most Literate Nations, diakses di http://www.ccsu.edu/wmln/rank.html Kemp. 2020. Digital 2020: Indonesia. Datareportal. Diakses 29 Agustus 2021.
https://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:og37d0n0JTMJ:https://setkab.go.id/media-sosial-post-truth-dan-literasi-digital/+&cd=7&hl=id&ct=clnk&gl=id. Diakses 29 Agustus 2021.
https://datareportal.com/reports/digital-2020-indonesia Workman, M., 2014. New media and the changing face of information technology use: The importance of task pursuit, social influence, and experience. Computers in Human Behavior, 31, pp.111-117. Diakses 29 Agustus 2021.
Comments